Aku baru memarkirkan motor di halaman kantor. Sudah agak telat rasanya aku kembali dari istirahat siang. Maklum saja, motor harus masuk bengkel dan cukup banyak memerlukan perbaikan. Saat baru memasuki ruangan tiba-tiba saja semua pada lari keluar. Wah, ada apa ini (belum merasakan gempa -_-‘)? Dan spontan saja seluruh penghuni kantor berhamburan keluar. Kepanikan mulai terasa ketika gempa semakin kuat dan berlangsung lama, (Alhamdulillah dalam hatiku, coba gempanya tadi wkt motor sedang diperbaiki, gimana mau jalan klo ban motor lagi dicopot..). gedung-gedung, pohon, bahkan kendaraan yang diparkir kian bergoyang semakin kencang. “nyoe ka lage gempa tsunami baroe” (gempanya sudah seperti gempa tahun 2004 kmrn) ujar beberapa orang. Namun menurut estimasiku saat itu mgkn kurang, karna saat gempa thn 2004 dulu untuk berdiri saja kita bakalan jatuh. Sedangkan skrang paling tidak masih bisa berdiri dan berjalan.
Dalam sekejap setelah gempa, kondisi kantor pun mulai kosong. Hampir semuanya kembali ke rumah karena teringat keluarga masing-masing. Terlebih ada beberapa keluarga yang memang tinggalnya di dekat garis pantai. Listrik pun akhirnya padam. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.
Aku yang tidak kembali ke rumah (karena mempertimbangkan kondisi rumah yg menurutku masih aman) stanby di kantor. Jalanan mulai dipenuhi pengendara yang mulai panic. Untuk telponan masih belum bisa, mungkin karna jaringan crowded kali ya. Bayang-bayang seperti kondisi tsunami 2004 mulai menerjang (aduh bahasanya ini..). berhubung sudah Ashar, jangan lupa shalat dulu ya…. :). akhirnya dapat telpon dari teman di padang mengabarkan klo gempanya tu 8,5 SR dan berpusat di Simeulue. Hoho..
pusat gempa |
Daripada terkatung-katung dengan kabar yg belum jelas, akhirnya aku menuju ke sebuah jembatan di simpang Surabaya yang tak jauh dari kantor. Di bawah jembatan yang mengalir sungai krueng Aceh itu saat tsunami 2004 juga terkena imbas. Jadi mengamati kondisi air disini kurasa cukup bisa mewakili dan cukup aman juga yang penting. Kupacu motor ke arah jembatan itu, jalanan sudah padat. Beberapa anggota brimob bersenjata lengkap mulai mengatur lalu lintas. Jalan yang menuju ke kota (arah pantai) langsung ditutup. Motor kuparkir saja di deretan toko-toko dekat sebuah warung kopi dan kulanjutkan dengan berjalan kaki. Dari jauh terlihat rupanya banyak juga masyarakat yang memantau kondisi air di sana. Beberapa stasiun tv nasional dan swasta terlihat sedang meliput. Tidak kalah juga beberapa warga yang jadi wartawan dadakan. Klakson-klakson kendaraan terus bersahutan, sesekali terjadi tabrakan kecil akibat kepadatan yang terjadi. Aku terus menerobos padatnya warga dan kendaraan yang melaju. Hmm… air masih normal ternyata. Aliran memang ke arah laut, namun kondisi sekarang memang sedang surut, aman dalam hati.
Balik lagi ke kantor, hanya tinggal beberapa orang lagi. Jam setengah 6 akhirnya aku menemani rekan kantor untuk mencari keluarga. Jalan menuju ke arah Lambaro padat. Simpang Lambaro merupakan jalan akses utama untuk keluar Banda Aceh menuju jalan banda Aceh – Medan. Dan kondisinya sudah padat betul. Tak ingin terjebak macet lagi, kami memarkir motor di arah jalan yang kira-kira tidak begitu crowded, melanjutkan pencarian dengan berjalan kaki.
Tiba-tiba kondisi kembali heboh, gedung dan billboard di pinggiran jalan bergoyang, gempa susulan ternyata. Kepanikan pun bertambah, ada yang berteriak histeris, ada yang menangis, tapi Alhamdulillah ada juga yang azan dan berzikir (think about it..!!). Hoho.. kondisinya tak bisa digambarkan. Di sebuah masjid Lambaro kami melihat orang sakit yang ikut diungsikan dan beberapa orang yang tiba-tiba histeris dan pingsan di dekat kami. Takut tidak bisa mengakses jalan kembali karna akan ditutup, kami pun akhirnya buru-buru kembali ke kantor. Terlihat antrian kendaraan yang begitu panjang. Bayangkan saja, dari lambaro ke arah jembatan baru Pango Raya/Santan yang berjarak sekitar 10 km lebih itu penuh dengan kendaraan. Terlihat mobil dari BPBA (Badan Penanggulangan Bencana Aceh) berusaha menenangkan warga dengan pengeras suara bahwa kondisi air laut masih normal.
Sempat pulang ke rumah sebentar, setelah magrib aku kembali keliling melihat situasi. Jalanan sudah tak penuh kendaraan lagi, listrik mulai menyala di beberapa tempat. Kuarahkan kendaraan menuju ke arah yang terjangkau tsunami tahun 2004. Listrik masih padam, kendaraan sepi. Hmm.. seram juga ternyata, berkendaraan di kota yang sedang sunyi dan listrik mati.
* * *
Gempa Rabu kemarin itu berbeda jauh dengan gempa yang mengguncang Aceh pada tahun 2004. Saat itu, 8 tahun silam, gempa berkekuatan 9,1 SR langsung disusul gelombang tsunami besar yang menyapu wilayah Aceh. Ratusan ribu jiwa melayang saat itu.
Menurut Sutopo Purwo Nugroho, Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB, ada tiga syarat yang harus dipenuhi sehingga gempa akan menumbulkan gelombang tsunami besar, yakni besaran gempa, kedalaman gempa, dan pergeseran vertikal.
Hal senada diungkapkan Subandono Diposaptono, Direktur Tata Ruang Laut dan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menurut dia, gempa Aceh kemarin berbeda dengan gempa Aceh 2004. Lokasi gempa 2004 berada di sepanjang zona subduksi pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Sedang gempa kemarin berlokasi hanya di lempeng Indo-Australia.
Kepada Antara, Sutopo mengatakan gempa kemarin merupakan gempa intraplate, bukan interplate seperti gempa Aceh berkekuatan 9,1 SR pada 26 Desember 2004. Gempa intraplate tidak menyebabkan tsunami besar seperti halnya gempa interplate yang berada di zona subduksi.
Gempa kali ini hanya menyebabkan gerakan mendatar yang menyebabkan getaran dan riak gelombang di lautan. Kalaupun ada tsunami paling-paling tingginya hanya 10-20 centimeter, atau paling tinggi tak lebih dari semester. (sumber : metrotvnews.com).
* * *
Alhamdulillah gempa kemarin tidak menyebabkan tsunami yang besar. Namun di balik itu, dari kejadian kemarin dapat dilihat bahwa trauma tsunami tahun 2004 masih cukup besar, apalagi bagi beberapa orang yang pernah tersapu air tsunami. Seberapa tenang pun orangnya, tak bisa menyembunyikan rasa trauma yang ada. Teringat memori dulu terulang kembali, something (happen) like it. Teringat ke orang-orang yang terkena tsunami, teringat kerusakan yang ada, dll yang serupa menggambarkannya. Kebanyakan masyarakat pun melarikan diri ke tempat yang jauh (bukan sekedar tempat yang aman).
Dan pembelajaran tetap harus ada, apalagi dengan pengalaman yang ada, seperti yang sudah-sudah.
Semoga,
0 komentar:
Posting Komentar