Panglima Uteun, Penjaga Hutan yang Kian Tergerus Zaman

Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan yang luas. Hutan tersebut selain sebagai tempat hidup jutaan spesies flora dan fauna, juga membantu menjaga lapizan ozon yang terus saja menjadi semakin menipis. Terang saja, dengan lapisan ozon yang semakin menipis itu menjadikan bumi ini semakin panas. Es di kutub akan semakin mencair dan bisa jadi lho, sepertiga dari dunia ini bakal tenggelam.

Nah, dengan pertambahan penduduk yang semakin besar sementara luas daratan akan semakin mengecil, bisa-bisa kita bakalan hidup di atas air ntar. Dah semacam film waterworld gitu ya. Hoho...

Penebangan hutan yang begitu meraja dan meratulela (haha... istilahnya ngeri ya) membuat hutan yang ada menjadi semakin sempit, flora dan fauna yang ada pun kian terjepit. Sehingga bukanlah suatu keheranan jika pada saat sekarang ini muncul konflik antara manusia dengan binatang. Apakah itu kasus manusia vs harimau, manusia vs gajah, manusia vs beruang (saya juga pernah menulis ini disini) or bisa jadi manusia vs manusia itu sendiri kali ya.. -_-‘


Gencarnya penebangan dan perusakan hutan itu, kira-kira apa ngak ada yang ngelarang or mencegah gitu ya? Hmmm... legal logging dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH) ataupun illegal logging yang ada sama-sama menjadikan hutan semakin terdegradasi. Dari satu segi hasil dari hutan itu sangat diperlukan, di segi lainnya keberadaan hutan juga tak kalah pentingnya.

Di Aceh sendiri, ada namanya tu Panglima Uteun (Panglima Hutan). Sosok Panglima Uteun sangat dikenal dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh dulu. Panglima Uteun yang berarti Panglima Hutan (semacam pawang hutan, namun jabatannya berada di atas pawang hutan) adalah orang yang bertugas menjaga keasrian dan keberlangsungan hutan. Berada di bawah Imuem Mukim (setingkat camat), Panglima Uteun ini memiliki beberapa tugas, diantaranya adalah sebagai pihak yang memiliki otorita menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan memasuki dan pengelolaan hutan, mengawasi dan menerapkan larangan adat, berfungsi sebagai pemungut segala hasil hutan (untuk pada akhirnya disetorkan kepada raja sejumlah 10%), dan Panglima berfungsi menjadi hakim dalam menyelesaikan sesuatu perselisihan dalam pelanggaran hukum adat hutan.

Dengan tugas-tugas serta wewenang yang ada tersebut, praktis segala pengelolaan hutan harus diketahui dan seizin dari Panglima Uteun. Larangan dan pantangan dalam mengelola hutan disepakati dan dijalankan oleh semua pihak melalui koordinasi dari panglima. Jika aturan udah ada, masyarakat mau menjalankan, dan yang kontrolnya pun ada jadinya kan enak tu. Klopun ntar ada masalah-masalah, bisa diselesaikan dengan lebih mudah.

Keberadaan panglima Uteun
Sosok Panglima Uteun sendiri yang dulu dipercayakan untuk menjaga hutan di Aceh, kini mulai terasa kian pudar. Di umur yang semakin tua, hampir tidak ada orang yang mau atau bisa menggantikannya. Peran tersebut dianggap hanya sebagai peu hek droe (buat capek diri) dengan ketiadaan keuntungan yang diperoleh, apalagi perannya mulai tergantikan oleh semacam polisi hutan. Hal ini membuat tatanan sosial Pawang Uteun dan kaidah-kaidah yang diembannya terancam punah.

“Kami ini ada tapi seperti tak ada” ungkap seorang panglima uteun kepada kami saat acara Workshop Pemetaan Kapasitas dan Peran Pemangku Adat dalam Pengurangan Resiko Bencana di Banda Aceh tahun 2010 lalu. Saya yang kebetulan saat itu bertugas membantu fasilitator acara, tiba-tiba merasa ingin tahu lagi mengenai panglima uteun ini. Peran yang seharusnya dijalankan oleh mereka (seperti peran di masa dulu), kini mulai bersinggungan dengan pihak-pihak lainnya. Pihak itu tentu mempunyai kuasa kepentingan yang lebih besar yang tak bisa mereka cegah.

Dan untuk hal ini, suatu masalah yang menyangkut (kepentingan) pihak-pihak tertentu, saya sependapat kalau merupakan hal yang sangat runyam. Backing (orang yang berada di belakang) pihak yang mengeksploitasi hutan biasanya adalah petinggi-petinggi atau orang yang memiliki pengaruh kuat. Ujung-ujungnya, wewenang yang diberikan kepada panglima uteun ini seakan hanya sebagai ‘syarat ada’ saja, hutan terus saja dirambah dengan serakah.

Salah Satu Kondisi Hutan yang Ditebang untuk Pembukaan Lahan Ladang
Salah Satu Kondisi Hutan yang Ditebang untuk Pembukaan Lahan Ladang

“dan di hutan itu tidak hanya panglima uteun, ada juga pawang harimau, pawang gajah,....” ujarnya lagi menjelaskan (tapi saya udah tak ingat lagi lengkapnya, abisnya notulenku saat itu terbatas,hoho...). gambaran yang dapat kutangkap dari penjelasannya saat itu adalah pawang-pawang yang ada hanya ‘dimanfaatkan’ ketika munculnya kasus semisal harimau masuk pemukiman, beruang menyerang manusia, dan gajah masuk desa (yang ada dulunya kan ABRI masuk desa tuk membangun kan ya..). Jadi klo nampak harimau di pemukiman, panggil pawang harimau. Gajah masuk ke desa, panggil pawang gajah. Uang masuk desa? Jangan panggil siapa-siapa, cukup saya saja. Nah lho, hohoho....

Hutan sekarang
Aceh sendiri merupakan salah satu daerah yang masih mempunyai hutan cukup bagus di Indonesia. Hmm... (*berpikir, klo di Aceh begini dikatakan cukup bagus hutannya, bagaimana lagi di daerah lain ya). Moratorium logging atau jeda penebangan hutan yang dicanangkan Pemerintah Aceh sejak Juni 2007 hingga batas waktu yang tidak ditentukan, dinilai banyak pihak gagal. Klo menurut saya sih, belum maksimal kali ya. Hal itu tidak terlepas dari masih adanya unsur kepentingan yang berada di dalamnya, tentunya juga selain dari peran panglima uteun tadi yang semakin terkikis. 

Hutan selain paru-paru dunia, juga bermanfaat sebagai penyerap dan penyimpan air. Ketika musin hujan air bisa diserap oleh akar-akar pohon, dan ketika kemarau, air yang tersedia menjadi tak kurang. Hutan juga merupakan bagian wajib dari sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS). Bagi orang Teknik Sipil Hidroteknik atau Pengairan seperti kami ini (^^V) mungkin sudah sedikit paham dengan istilah ini. Bagi yang belum, saya kasih tahu sekilas deh, hehe...

DAS merupakan daerah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke suatu sungai. Karena pengaruh topografi yang ada, hujan yang jatuh di daerah DAS sebuah sungai secara otomatis akan turun ke sungai tersebut. Jika hutan ada, air hujan tersebut bisa tertahan oleh pohon-pohon dan tidak langsung mengalir ke sungai. Nah, klo tidak ada penahannya (hutan tadi), bisa dibayangkan kan klo hujan yang turun tu lebat banget? Yupz, banjir. Debit atau volume air yang mengalir ke sungai jadi melebihi tampungan sungai. Sekarang hampir semua daerah di Indonesia mengalami banjir, sekilas saja sudah bisa kita tebak, pasti deh tu ada apa-apanya dengan hutannya.

* * *

Sekedar info bagi kita semua, pernah dengar istilah banjir bandang kan? Bahasa inggrisnya tu flashflood gitu. Banjir yang menyapu bagian hilir dari sungai itu biasanya membawa material-material besar seperti batu dan gelondongan (hasil dari penebangan pohon). Akibatnya tak jarang menimbulkan korban baik harta maupun nyawa. Bagi yang belum kebayang juga, ingat lagi deh banjir bandang Wasior (Papua) atau banjir bandang Tangse (Aceh). Banjir bandang itu membawa air dalam volume yang besar. Volume/debit yang besar itu tentunya tidak bisa terjadi sebelum terlebih dahulu ‘tertampung’. Dalam artian, aliran air di sungai yang ada menjadi terhambat oleh sesuatu, biasanya sih kayu gelondongan tadi. Nah, air yang terhambat tadi akan menjadi semacam tampungan semacam wadah air. Ketika yang menghambat tadi sudah tak cukup kuat menahan tampungan air, maka pecahlah ia membawa volume air yang besar.

Survey Kondisi setelah Banjir Bandang Tangse oleh Tim Lab Hidroteknik Univ. Syiah Kuala
Survey Kondisi setelah Banjir Bandang Tangse oleh Tim Lab Hidroteknik Univ. Syiah Kuala

Dan anda tahu? Jika fenomena ini terjadi, seharusnya merupakan hal yang bisa diantisipasi! Ingat lho, hal ini SEHARUSNYA dapat diantisipasi..!! salah satu cara menandakannya adalah, jika air tadi mulai tertampung karna adanya hambatan, dapat dilihat air yang mengalir ke hilir akan ada bening dan keruhnya. Jadi bukan bening saja atau keruh semua. Atau bisa dilihat juga jika kondisi hujan, air yg mengalir di sungai tak banyak seperti biasanya. Artinya adalah, ada sesuatu yang menahan aliran air di bagian hulu sungai. Dan kita harus waspada bila ada tanda-tanda tersebut. Jika ditanya sekarang? Apakah masyarakat yang tinggal di lingkungan hilir sungai mengetahui akan hal itu? Seandainya mereka tahu, tentu dampak bencana yang akan terjadi dapat diminimalisasi. Salah satu orang yang juga mengetahui hal tersebut, adalah panglima uteun..!!!

* * *

Secara pribadi, saya angkat salut kepada para panglima uteun yang masih bertahan. Yang masih mau menjalankan ‘tugas-tugasnya’ dengan segala keterbatasan dan peran yang semakin terkikis. Panglima uteun yang sampai sekarang masih mau menjaga hutan yang ada, hutan sebagai paru-paru dunia, hutan tempat hidup flora dan fauna, juga manusia.
*standing applause...

Budaya jaga hutan
Kenapa saya mengatakan “budaya jaga hutan”? apakah menjaga hutan itu adalah sebuah budaya? Nyatanya, menjaga hutan adalah suatu budaya yang seharusnya wajib kepada kita. Hutan, menjadi bagian yang begitu penting dalam kelangsungan hidup manusia di dunia ini. Nah, manusia itu sendiri harus secara aktif tergerak untuk menjaga hutan.

Budaya menjaga hutan telah ada sejak zaman dahulu. Malah di Banda Aceh sendiri (dulu bernama Kutaraja) dilarang menebang pohon-pohon besar yanga da di kota, apalagi di hutan ya. Salah satu amanah dari kerajaan di masa dulu adalah hutan-hutan yang ada janganlah ditebang, sekalipun untuk membangun permukiman. Ada syarat-syarat dan ketentuan tersendiri jika harus menebang pohon. Nah, secara tidak langsung, budaya itu sudah ditanamkan sejak lama.

Munculnya organisasi-organisasi, kelompok masyarakat, atau apalah namanya yang ingin menjaga keberlangsungan hutan tentunya adalah sebuah hal yang baik. Namun perlu dilihat juga, banyaknya campur tangan yang ada malah menjadikan ‘budaya menjaga hutan’ tadi mankin tidak jelas. Masing-masing pihak meng-klaim dialah yang berhak mengelola hutan itu. Hoho... kenapa tidak kembalikan saja fungsi itu seutuhnya kepada panglima Uteun. Dan organisasi-organisasi atau kelompok masyarakat yang muncul belakangan itu mensupport tugas panglima. Karna di era yang semakin maju ini, tidak mungkin juga panglima uteun bekerja sendiri. Atau jika ada organisasi/badan lain yang diberikan wewenang, nilai-nilai yang telah ada dulunya itu jangan juga dibuang begitu saja.

Apa apresiasi yang bisa kita berikan? Saya rasa yang terbesar yang harusnya kita berikan adalah tetap kita jaga budaya menjaga hutan ini. 

“oh saya tinggal di Kota ding”. Kita juga bisa ikut berpartisipasi mulai dari hal-hal yang kecil semisal menggalakkan penanaman pohon.
“saya ngak punya tanah or lahan untuk ditanami, acem tu?” ya paling tidak kita menjaga saja pohon-pohon yang sudah ditanam, jangan malah dirusak. Ya ngak..? :)

Hutan Kita, Mari Jaga Bersama
Hutan Kita, Mari Jaga Bersama

bagi Beswan Djarum yang ada sendiri,  bisa terlibat atau dilibatkan dalam kegiatan Djarum Bakti Lingkungan yang ada. Kegiatannya bisa jadi dalam bentuk penghijauan atau semacamnya. Itu kan juga merupakan salah satu jalan menjaga dan memelihara semangat kita untuk budaya menjaga hutan kan ya. Jika pun peran panglima uteun semakin tergerus, ataupun suatu saat nanti habis dimakan zaman, semangat kita untuk menjaga lingkungan terutama hutan ini janganlah pudar. Tetap jaga ia agar selalu mekar...!!
:)

0 komentar:

Copyright © 2012 Zikra NotesTemplate by :Urangkurai.Powered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.