Suatu hari,
Para sapi dan saudara jauhnya yang tak mempunyai hubungan darah dengannya yaitu kerbau, adakalanya termasuk juga para kambing dan sepupu jauhnya biri-biri, merasa begitu pasrah diri. Satu-persatu mereka digiring oleh tuan lama ataupun tuan baru mereka ke suatu tempat yang tak mereka kenali. Pisau terhunus, tussshhh.... pandangan lurus mereka kini hilang terhembus, buusss... -^v^v—v^--v---------------- dead
(*ini bukan pilem horror lho..)
Di pasar pagi mulai ramai terlihat para sapi yang sudah tak berbaju lagi, bergelantungan di tenda dadakan yang mulai tak sepi. Para penjual dengan pisaunya terlihat sibuk melayani para pembeli.
Penjual Daging di Pasar Lambaro, Aceh Besar |
Ah, Jangan dulu ngeri atau mengira saya sedang membuat puisi. Saya hanya ingin bertanya apa yang anda bayangkan dari tadi? Satu lagi, kenapa pula ya kalimat saya dah berakhir semua dengan ‘i’ ini? :D
Nah, sebagian dari pembaca mungkin mengira saya sedang akan menceritakan mengenai keadaan saat Hari Raya Idul Adha atau hari raya qurban yang tiap tahun diperingati oleh kaum muslim. Benar, anda yang menjawab seperti itu benar, keadaannya memang begitu kok. Namun di Aceh khususnya, pemandangan seperti itu tak hanya dijumpai saat Hari Raya Idul Adha saja lho, melainkan juga pada momen lainnya. Momen itu berlangsung 3 kali setahun, pertama (biasanya dua atau satu hari) sebelum masuk bulan Ramadhan (puasa), kedua sebelum Hari Raya Idul Fitri, dan yang ketiga sebelum Hari Raya Idul Adha. Momen itu, kami menyebutnya dengan istilah meugang atau ada juga yang menyebut makmeugang.
Bisa dikatakan, meugang adalah hari yang dirayakan dengan cara memasak dan menyantap sie (daging) bersama keluarga. Menurut sejarahnya sih, pada awalnya budaya meugang ini dilakukan pada masa Kerajaan Aceh. Waktu itu, Sultan memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyat sebagai bentuk rasa syukur atas kemakmuran dan terima kasih kepada rakyatnya. Tradisi itu tetap berakar di tengah masyarakat Aceh sampai sekarang.
Tradisi ini menjadikan masyarakat Aceh tetap mengkonsumsi daging minimal 3 kali setahun. Saat meugang, banyak kita jumpai pasar kaget yang menjual daging. Pasar-pasar didominasi oleh penjual daging. Penjual ikanpun sementara waktu ada yang beralih profesi sebagai penjual daging. Persentase penjualan daging pada masa ini menjadi meningkat drastis, harganya juga sih. Bayangkan saja, di hari biasa aja harga daging sapi bisa mencapai Rp 100.000/kg. Nah kalo hari meugang, bisa tembus ke angka Rp 120.000 – Rp 150.000/kg..!! wow, saya rasa harga ini adalah harga daging termahal di dunia bukan? Untuk menyiasatinya, banyak juga warga yang meuripee (patungan) membeli ternak dan menyembelihnya.
cara meuripee ini ternyata sangat efektif bagi kalangan yang terasa berat lho. selain itu, sejak proses penyembelihan ini, gotong-royong akan secara otomatis tercipta. dengan meuripee ini, masyarakat pun bisa menyicil uangnya hingga terkumpul sejumlah harga sapi yang akan dibeli. dan kalaupun ada satu dua orang yang belum cukup uangnya, bisa ditutup dulu oleh orang yang ikutan meuripee lainnya. wah, mantap juga metode ini. *dah pernah praktek juga :D
Daging Sapi yang Dijual |
* * *
Di meugang sebelum puasa (1432 H) yang lalu, ketika ibu saya pulang sehabis membeli daging, saya melihat 2 potong daging yang katanya 2 kg itu. “Segitu 2 kg?” tiba-tiba terbesit dalam hatiku. 1 kg berarti satu potongnya, dan 1 kg itu sungguh tak banyak kawan. Apa lagi jika dalam keluarga terdapat beberapa anggota keluarga. Langsung teringat bagaimana dengan orang-orang yang kurang mampu dapat membeli itu daging. Meugang berarti harus ada daging, tanpanya akan terasa hambar dan menjadi ‘kewajiban’ bagi para lelaki yang sudah berumah tangga untuk membawa pulang daging. Bagaimana cara agar meugang tetap dapat dinikmati?
Budaya meugang ini sendiri memiliki beberapa makna. Diantaranya adalah :
1. Silaturrahmi. Saat meugang, anggota keluarga biasanya tetap berkumpul untuk menikmati dan menyantap bersama hidangan daging meugang. Jika kebetulan ada anggota keluarga yang sedang merantau, biasanya akan pulang pada masa ini. Ya, klo merantaunya ngak jauh sih. karena budaya meugang ini juga diperingati oleh masyarakat Aceh yang hidup di perantauan.
2. Berbagi. Seluruh lapisan masyarakat, kaya maupun miskin turut menikmati suasana meugang ini. Disinilah kearifan dari si kaya yang mau berbagi rezekinya dengan orang kurang mampu. Sehingga orang yang tak sanggup membeli dagingpun bisa menikmati suasana meugang. Sedih juga kan kita lihat, klo sampai seorang miskin yang tak sanggup membeli daging, hanya bisa mencium bau masakannya aja. Untuk mereka yang dewasa okelah mungkin bisa tahan, tapi kalo anak-anak? Bisa anda bayangkan jika ada anak-anak yang bertanya kepada ayah bundanya kenapa tak ada daging yang dapat mereka santap sementara bau masakan tetangga terus saja menusuk indera penciumannya? Sedihnya lagi, jika mereka tak tahu harus bertanya kepada siapa karna sudah tak ada lagi ayah bunda. Jawablah selaku seorang ayah/bunda, jawablah juga selaku anda adalah tetangganya. Berbagi tentulah merupakan suatu hal yang sangat indah disini.
3. Syukur. Budaya meugang ini juga dapat dikatakan sebagai suatu apresiasi dari sikap syukur. Syukur tersebut bisa jadi atas nikmat rezeki yang telah diberikan, ataupun syukur karena akan dapat merayakan puasa ataupun hari raya.
Budaya meugang, mungkin tidak ada di daerah lainnya di Indonesia. Sejatinya, budaya ini sangatlah bermanfaat dalam bersilaturrahmi dan berbagi. Ketika kesenjangan antara si kaya dan miskin kini kian terasa, budaya meugang ini bisa menjadi sebuah asa. Budaya yang bisa menjadi jembatan jarak antar manusia. Saling berbagi di saat meugang juga mengandung arti kita membutuhkan orang lain dalam hidup ini.
0 komentar:
Posting Komentar