Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh adalah sebuah bangunan masjid bersejarah di Kota Banda Aceh. Tak hanya itu, disana juga lahir cerita-cerita unik dan menarik sehingga pengalaman dan pembelajaran pun dapat dipetik. Salah satunya adalah sebuah hal yang tak sengaja teramati olehku. Ya, wlo sebenarnya hal ini mungkin sekilas dianggap biasa-biasa saja.
**
Di bulan Ramadhan ini, ada ibadah khusus yang tidak terdapat pada bulan-bulan lainnya, salah satunya adalah ibadah shalat tarawih. Ibadah tarawih tersebut ada yang mengerjakan 8 rakaat, 20 rakaat, bahkan terkhusus di Madinah, ada yang 36 rakaat. Dan biasanya lagi (bukan biasanya, emang syaratnya gitu kok, hehe...) shalat tarawih yang dikerjakan sesudah shalat Isya itu akan dilanjutkan dengan shalat witir minimal 3 rakaat.
Di seputaran Banda Aceh sendiri, mayoritas masjidnya melaksanakan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat. Ada yang langsung shalat 20 rakaat kemudian witir, ada juga yang melaksanakan witir setelah 8 rakaat kemudian bagi yang melaksanakan 20 rakaat melanjutkannya setelah ‘witir 8’ selesai. Seperti di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Setelah shalat Isya berjamaah, ada ceramah yang disampaikan oleh seorang da’i/penceramah (ya iyalah penceramah, masak pelawak, :D ) selama 10-15 menit. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan shalat tarawih sejumlah 8 rakaat. Nah setelah 8 rakaat ini, bakalan ada jeda sejenak. Jamaah yang akan mengerjakan tarawih 20 biasanya keluar sejenak untuk menikmati udara segar (istilahnya aja, hehe..) atau ada juga yang tetap berada di dalam masjid sambil membaca Alquran atau berzikir. Sementara jamaah tarawih 8 melanjutkan dengan shalat witir.
Seusai witir, jamaah tarawih 8 pulang (atau ada kegiatan lain apalah gitu masing-masingnya terserahlah..) dan jamaah 20 tadi kembali membentuk shaf guna melanjutkan tarawihnya. Aku sendiri memilih shalat tarawih 20 rakaat. Walaupun tidak setiap malam aku shalatnya di Masjid Baiturrahman, tapi dalam setahun selama Ramadhan insya Allah ada lah beberapa kali shalat disana. :)
Nah, disinilah ada sesuatu yang menarik perhatianku. Di tahun-tahun sebelumnya sih aku pernah juga melihatnya, tapi kurang ‘ngeh’ gitu. Di barisan shaf terdepan, ada seorang bapak-bapak yang shalatnya di tempat itu-itu terus. Si Bapak biasanya (selama aku lihat sih memang selalu) melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat. Semenjak shalat Isya dimulai, beliau sudah berada di shaf pertama itu. Dan ketika jamaah tarawih 8 melaksanakan shalat witir, beliau pun duduk disitu, tidak berpindah keluar dari shaf dulu seperti kebanyakan orang. Ada juga sih beberapa yang begitu, tapi tidak ‘selalu’ seperti bapak itu. Hal ini biasanya teramati oleh jamaah tarawih 20 karna yang melaksanakannya biasanya lebih sedikit dari jamaah awal yang ada.
Dan anda tahu? Ternyata si Bapak ini mengalami suatu keterbatasan yaitu tidak bisa melihat. Bermodalkan sebuah tongkat yang bisa dilipat, si bapak pergi ke masjid seorang diri. Tanpa seorangpun yang mendampingi atau menuntunnya. Seakan beliau sudah hafal betul seluk beluk ‘jalan’ menuju Masjid Raya terkhusus shaf pertama itu.
Tubuh kurusnya bangkit dari duduk setelah shalat tarawih 20 serta witir selesai (tentunya setelah zikir/shalawat terlebih dahulu). Tanpa meminta bantuan kepada orang-orang ‘sehat’ yang berada disana, beliau keluar melalui pintu Utara masjid. Walaupun terkadang ada juga orang-orang yang membantu menuntunnya sampai ke pintu keluar masjid. Namun, sedikit hal yang perlu dicatat, beliau tak pernah meminta orang untuk membantu menuntunnya. Dari pintu keluar, beliau menuruni tangga sambil sesekali ‘meraba’ dengan tongkatnya dan mengambil sendiri sandalnya yang sudah ditaruh khusus di taman kecil di ujung samping tangga. Kemudian berjalan menuju ke arah keluar pintu gerbang masjid, melewati beberapa orang pengemis (yang semakin banyak) yang sejak sebelum azan dikumandangkan sudah bertebaran di perkarangan masjid.
Yah, aku tak tahu harus menulis apa. Pelajaran yang ada dapat diambil sendiri saja. Si Bapak, dengan keterbatasan yang beliau miliki, tidak menjadikan keterbatasan itu sebagai alasan untuk meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim, tidak menjadikan alasan tersebut sebagai suatu hambatan untuk beribadah, menghambakan diri kepada Sang Pencipta. Tidak menjadikan keterbatasannya sebagai celah agar orang mau bersimpati atau mengambil iba dari orang lain terhadapnya.
Kita, selaku orang yang diberikan kelengkapan panca indera?
0 komentar:
Posting Komentar