Di tulisan sebelumnya saya telah menulis mengenai #part1 nya. Kini saya ingin sedikit melanjutkan mengenai kisah lain yang pernah saya temui, kisah mengenai keterbatasan penglihatan seseorang. Mudah-mudahan dapat bermanfaat nantinya.
Sebenarnya telah banyak kita lihat orang-orang yang tidak menyerah dengan keterbatasan yang mereka miliki. Apakah itu keterbatasan karna tidak lengkap/berfungsinya panca indera atau karna keadaan yang membuat mereka ‘berjuang’ lebih keras. Kita bisa melihatnya di berbagai tulisan yang sudah pernah ada, ataupun media visual seperti di tv. Saya sendiri juga pernah melihatnya di salah satu acara tv (Kick Andy Show) yang menceritakan bagaimana perjuangan orang tuna netra. Ada yang menjual kerupuk untuk menyambung hidupnya, membuka jasa layanan pijit, dll. Luar biasa, subhanallah.
Nah, selain di media yang tidak secara langsung kita temui itu (cetak maupun elektronik), ternyata sebenarnya ada juga yang kita jumpai di keseharian kita. Namun kita sering tidak sadar dengan keberadaan mereka, bisa jadi karna sudah menganggapnya biasa, ataupun karna terlalu banyak dari mereka yang memilih jalan ‘meminta-minta’ untuk kelangsungan hidupnya.
Aku teringat kembali kepada suatu memori ketika aku sekolah MIN (setingkat SD) dulu. Jarak sekolah dengan rumahku sekitar 1 km dan aku berjalan kaki pulang pergi sekolah. Nah, saat kami pulang, hampir setiap hari kami bertemu dengan seorang kakek yang berjalan dengan tongkatnya. Yupz, sama dengan cerita sebelumnya juga, kakek itu juga tidak dapat melihat. Selama setiap harinya beliau selalu keluar berjalan dari rumah menuju pasar yang biasanya digunakan sebagai tempat berkumpul dan jual-beli gitu di daerah Keutapang Dua. Jarak rumah beliau ke Keutapang tadi tu sekitar 1,5 km. Ada saja kegiatan beliau setiap harinya menuju ke Keutapang tadi, dari membeli sesuatu, bertemu orang yang ingin ditemuinya, atau hal-hal lainnya.
Jarak yang lumayan jauh itu seperti sudah dihafalnya juga. Mulai ‘start’ dari daerah keutapang, tongkat yang dipegangnya diarahkan ke bagian pinggir jalan aspal untuk menjaga agar beliau tetap berjalan di bahu jalan. Dan berjalanlah beliau seorang diri pulang pergi rumah-pasar Keutapang. Dan yang begitu aku salut adalah beliau bisa memperkirakan belokan jika sudah masuk kampungnya. Padahal jalan yang dilalui dari pasar tadi adalah jalan besar (jalan provinsi) dan untuk mencapai rumah, beliau harus menyeberang jalan dulu dan berbelok ke jalan kecil desa. Apakah beliau menghitung langkahnya atau ‘memberikan tanda’ di pinggir jalan aspal aku kurang tahu juga.
Pernah juga sih sekali-sekali ada orang berkendara yang lewat dan membonceng beliau, kebanyakan hanya sampai belokan jalan kecil desa saja. Kami sendiri jika kebetulan melihat beliau ketika pulang sekolah, sering juga pulang berjalan bersama-sama. Terkadang juga jika kawanku membawa sepeda, aku membonceng kakek itu sampe ke jalan belokan desa. Lalu balik menjemput kawan yang menunggu sambil berjalan perlahan juga. Sesekali juga kami berbincang ringan, tapi kebanyakan aku ngak ngerti, mungkin karna masih polos kali ya saat itu, hehehe...
Dan dari sini pula lagi, sang kakek menginspirasiku untuk terus berjuang walaupun dengan keterbatasan yang ada. Kita yang diberi kesempurnaan indera terkadang tak menyadari atau sekedar bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan. Keseringannya, kita baru merasakan sesuatu itu begitu berharga, ketika kita kehilangannya, termasuk dalam hal ini mungkin. Pernah sekali aku mendengar dalam sebuah ceramah, sang penceramah bertanya kepada seorang yang lumayan kaya dan kebetulan tidak bisa melihat. “apa yang mau Anda korbankan untuk bisa melihat dunia ini?” tanya seseorang. Dan orang yang kaya yang tak bisa melihat tadi berkata, “apapun yang saya miliki untuk bisa melihat dunia ini”.
Dan ternyata, keterbatasan yang ada baru bisa menyadarkan kita. Selama kita masih diberi kekuatan untuk melakukan sesuatu, lakukan secara maksimal. Tak perlu menunggu harus ‘diingatkan’ dengan keterbatasan kan..?
Wallahu a’lam...
0 komentar:
Posting Komentar