Punya jam kan? Ya, bisa jadi itu jam tangan, jam dinding, jam tugu, jam beker, jam digital or jam segala jenis jam yang lain boleh juga. Yang penting jam. Ada apa dengan jam-jam tu, anehkah? Pernah mungkin sekali atau dua atau beberapa kali waktu saat memperhatikan waktu, melihat detak-detak jarum detik yang terus saja berputar, ia tak pernah bosan. Jarum menit pun akan selalu mengikuti. Seolah saja mereka telah kompak bersekongkol, “jika kau detik telah melalap 60 kali putaran, maka aku hanya akan melangkah sekali”. Dan si jarum detik pun tak akan pernah protes atau berontak, “enak saja kau menit, dasar pemalas. Tidak sadarkah kau kalau aku begitu capeknya setiap hari finish di tempat yang sama, 3600 kali?”.
Tidak, tidak pernah mereka ‘mendakwakan’1 hal itu. Mereka seperti telah tergariskan untuk mengikuti alur yang demikian. Satu sekutunya lagi yang tak ketinggalan, jarum jam. Seakan dia hanya mengamati si detik dan menit berkolaborasi, dan dengan harmonis menutupnya dengan penunjukan jam di setiap angka. Dia yang bertugas siap sedia memberitahu kita. Sekarang sudah jam berapa adanya.
Di suatu waktu aku seakan menghardik si detik, mengapa ia begitu cepat melangkah. Padahal kerjanya saban hari itu-itu saja. Tak bisakah hanya sekali waktu ini kau pelankan langkah sedikit saja. Karena jika kau mau membantuku sedikit saja, aku mungkin akan menjadi juara dalam sebuah balapan super kencang ini. Kecewa aku.
Di waktu lain, aku murka pada si menit. Mengapa sekali ini saja, kau bisa berpura-pura lupa atau tak ingat bahwa si detik sudah usai satu putaran. Berhenti saja kau, tak usah melangkah. Toh yang rugi juga si detik yang kan berputar lagi. Namun itu juga tak kau lakukan. Aku kecewa lagi.
Di waktu yang lainnya lagi, aku berharap kepada si Jam. “Jam, maukah kau berhenti sebentar saja? Aku hendak menjemput seseorang, namun aku juga sedang ada kerja menyusun beberapa jemputan”. “tolong.. tolonglah aku sekali ini saja”. Aku meminta dengan penuh harap, was-was. Mata jam, ya, bisa kulihat mata jam itu mengandung rasa iba yang mendalam terhadapku. Ia melongokan matanya kepadaku, menarik nafas dalam-dalam, dan akhirnya keluar dari lisannya yang halus itu, “Owwh,, tidak bissaaaa….”. huuffft… kecewaku akhirnya merambah sampai ke puncak. Kalau ada puncak di atas ubun-ubun, maka disitulah ia berada.
Kenapa sih mereka, yang hanya bertugas menunjuk waktu, tak mau sekali saja membantuku? Aku tertunduk lesu, di pojok yang kian terasa membisu. Sebel.. :(
**
Di satu bagian dinding tepat di sisi pojok dimana aku terpaku, seekor cicak sedang terkekeh tertawa tak tertahankan. “sinting”, ujarnya sambil kembali terkekeh-kekeh. Cicak itu, tertawa melihatku berusaha menghentikan waktu. “Dasar manusia! mana bisa memutar waktu”, celetuknya lagi. Sambil terus menjadi-jadi tawanya, ckckckck... "Dari tadi meminta waktu berulang, permintaan itu kan membuang lagi waktu lainnya". ia tersengal, dan sudah kian tak tahan, tertawa lagi dengan terbahak-bahak. wkwkwkwwkwkwk...
------------------------------
1 berdebat
0 komentar:
Posting Komentar