Tsunami, bagi masyarakat Aceh khususnya memiliki memori tersendiri akan hal ini. Kejadian pada tanggal 26 Desember 2004 itu merupakan salah satu fenomena terbesar dalam beberapa dekade terakhir. Masing-masing mempunyai cerita sendiri akannya. Walaupun cerita yang ada bisa berbeda-beda, tapi tetaplah persamaan yang paling mendasar disana adalah : kehilangan. Kehilangan harta benda, bahkan nyawa orang-orang sekitar. Kehilangan yang bahkan untuk beberapa orang tak bisa dipastikan, hilang meninggalkan dunia ini atau hilang dari lingkungan keluarga sekitar karna terpisah saat kejadian.
Hmm... ah, klo diperpanjang, banyak kisah di sebaliknya. Namun kali ini saya lebih ingin membicarakan mengenai pelajaran yang seharusnya diambil dari kejadian itu.
Nyatanya, kejadian tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 bukanlah kejadian pertama kalinya di Indonesia. Klo kita cermati lagi, kejadian serupa pernah terjadi akibat letusan gunung krakatau (1883), kemudian di Simeulu (1907), Sigli (1967), Sumba (1977), Flores (1992), Banyuwangi (1994), pangandaran (2006), Bengkulu (2007), Mentawai (2010), dan masih banyak lagi (akan terus diupdate). Selain indonesia sendiri, tsunami juga terjadi di negara-negara lainnya, yang terbaru adalah kejadian tsunami di Sendai, Jepang pada 11 maret 2011 yang lalu.
Kembali lagi ke kejadian tsunami Aceh. Setelah 7 tahun kejadian tersebut apa yang bisa kita ambil darinya? Gempa dan tsunami adalah salah satu kejadian alam yang tak bisa diprediksi. Jadi salah jika ada pihak-pihak yang mengatakan jika akan terjadi gempa/tsunami pada tanggal sekian jam sekian, bla..bla..bla.. yang bisa dilihat hanyalah potensi yang ada. Indonesia yang berada di jalur ring of fire memiliki potensi yang cukup besar untuk terjadinya gempa/tsunami. Nah, jika kejadian itu tidak dapat diprediksi, maka seharusnya diri kita yang seyogyanya memiliki kapasitas untuk menghadapi itu semua. Menghadapi disini dalam artian apa yang harus kita lakukan bila suatu saat (mudah-mudahan tidak) bencana itu datang lagi.
Kapasitas pengetahuan itu penting. Liat saja ketika tsunami terjadi di Aceh 7 tahun yang lalu, ketika air laut surut, masyarakat di pesisir malah banyak yang memilih untuk mengambil ikan yang ‘terdampar’ akibat tak sanggup mengimbangi arus surut. Masih banyak masyarakat yang memilih kembali ke rumah untuk menyelamatkan hartanya ketimbang menyelamatkan nyawanya. Masih banyak warga yang kebetulan berada di gedung bertingkat berdesakan turun melalui tangga (padahal tangga adalah bagian rawan saat terjadi gempa). Masih ada juga masyarakat yang tak tahu harus menyelamatkan diri kemana, bisa jadi karna galau atau tidak ada rambu harus berlari kemana.
Mudah-mudahan kapasitas yang ada bisa kita tingkatkan. Kapasitas pengetahuan kita yang sebagiannya telah belajar karna secara langsung pernah berhadapan dengan gempa/tsunami. Pengetahuan tersebut diperlukan bukan hanya untuk kita saja, tapi juga untuk masyarakat luas di dunia.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar