Jembatan Antara Dua Senja
Kaku rasanya tubuh ini tuk kugerakkan tapi akhirnya sanggup kubuka jendela mataku ini, akupun tersenyum. Langit begitu indah disana, riak-riak awan begitu nakalnya sembunyikan birunya langit dari mataku, menari-nari di angkasa sana seolah tak pernak mengenal bumi. Aku sendiri tak mengerti mengapa senyumku semakin lebar melihatnya. Mulai kurasakan perihnya tubuh ini tapi tetap saja tak satu anggota tubuhku pun yang dapat kugerakkan. Kuhimpun segenap tenaga yang kumiliki,tetap saja tak bias. Hanya pandanganku yang dapat kugeser kearah sekeliling,dan…. Masya Allah! Apakah ini mimpi? Pandanganku mulai kabur oleh dua butiran air, turun menyelusuri pipiku yang penuh Lumpur. Awan kini kelabu, redup cahaya yang tadi kupandangi. Aku hanyut, tenggelam dalam tetesan bening awan kelabu….
* * *
Langit masih gelap, sang surya belum menampakkan tanda-tanda akan menyinari pagi. Segera kuakhiri zikir salatku setelah kulihat masjid mulai kosong dan keluar dari Masjid Baiturrahim Meuraxa, Ulee Lheu. Kulangkahkan kaki keluar dari pekarangan masjid. Belum ada suara bising kendaraan di jalan sana, hanya suara jangkrik yang mulai redup dan cemilan cicak entah darimana asalnya. Kuarahkan kakiku kearah kiri. Seperti biasanya setiap setelah subuh dan menjelang magrib aku berdiri disitu, ya, di sebuah jembatan kuala tidak jauh dari masjid. Dalam hitungan menit aku sudah berada disitu. Riak-riak air laut menderu seolah memanggilku menyaksikan kekuatannya menghempas penyangga jembatan, aku mudah tergoda dengan suara gemercikan itu. Kuubah kiblat pandanganku kearah barat, nelayan mulai pulang dari rantauannya, boat mereka terombang-ambing akibat anak gelombang yang tak ganas. Jauh disatu ujung sudut relung hati aku manangis, ada harapan lain aku berdiri disini menyaksikan pulangnya para ‘rantauan’ itu. Sepuluh tahun silam suasana begitu bahagia. Di sebuah delta yang mirip sebuah pulau tepat di depan kuala ini setiap sore aku selalu berlari membelah fajar menyusuri batas air laut yang enggan naik ke daratan, dibelakang Abi mengejarku sambil tersenyum cerah. Begitu ia berhasil menangkapku, ia memeluk dan mengangkat-angkat tubuhku yang kurus, tawa memekik dari mulutku. Sementara Ummi berdiri diseberang. Nampak jelas dari sudut mataku angin darat mengibaskan jilbab merahnya yang serasi dengan gamis yang ia kenakan. Kurasakan ada senyum kebahagiaan di sebelah sana.
Sebelum azan menggema menyeruak langit Ulee Lheu kami sudah berada di dalam masjid, walupun sudah berumur 7 tahun Abi selalu menggendongku menuju kesana sedangkan Ummi dengan wajahnya yang teduh hanya nampak senyum melihat tingkah lakuku saat itu, sikap manjaku membuat suasana semakin cerah. Aku adalah satu-satunya anak mereka, wajar saja bila aku sangat disayangi tetapi dalam hal kegiatan sehari-hari tak ada kata manja yang keluar. Aku dididik mandiri sejak masih kecil. Selepas magrib Abi dan Ummi masing-masing memilih meneruskan bacaan Quran mereka sedangkan aku lebih memilih duduk di pintu masjid memandangi bintang-bintang yang mulai bermunculan satu-persatu. Baru selepas isya kami pulang bersama ke rumah yang berjarak sekitar 200 meter arah utara masjid berjalan melewati jembatan kuala yang tak pernah sepi dari deru ombak yang menghempas penyangganya. Sebagai nelayan Abi tidak setiap malam melaut, beliau hanya berangkat 2 hari sekali dan langsung pulang keesokan paginya. Aku dan Ummi selalu mengantar Abi menaiki boat tuanya peninggalan kakek. Bersama empat orang rekannya beliau mengarungi hamparan laut nan luas untuk mancari rezeki. Sebelum berangkat selalu kudengar suara lembut Abi menyapa telingaku,”Jika kau ingin menjadi seorang pelaut sejati bukan hanya laut yang ganas yang harus kau takhlukkan, tapi hatimu! Ingat,hatimu! Seorang muslim bukan saja beribadah tetapi berbuatlah sesuatu yang berguna bagi orang lain”.
Aku tersenyum sendiri jika mengingat kata-kata Abi.
Ada satu penyesalan dalam diriku ini. Tujuh belas tahun lamanya aku singgah di dunia ini, untuk masalah ini aku masih lemah.Apakah aku sudah berhasil menakhlukkan hatiku dan menjadi muslim sejati sekarang?
Mentari pagi mulai menguak cakrawala, cahayanya mulai tampak arah belakang aku berdiri. Tanpa sadar sudah sejam aku berdiri disini tapi bayangan itu belum mau untuk aku lepaskan. Lima tahun lalu seperti biasa aku dan Ummi mengantar Abi berangkat mengarungi laut bersama empat orang lainnya. Setelah suaranya menyapa telingaku beliau langsung berangkat. Tak terasa bayangan boat tua itu sudah menghilang dari pandangan.
Keeseokannya setelah subuh aku berdiri di tepi pantai menantikan Abi kembali membawa banyak ikan besar untuk dijual. Hari itu lain, sampai tiga jam aku menunggu Abi tak kunjung kembali. Akupun pulang memberi tahu kepada Ummi, beliau hanya tersenyum berusaha meneduhkanku dan menghiburku mengatakan mungkin Abi dan empat rekannya singgah ditempat saudara di Sabang. Setahuku kami tak punya saudara disana tetapi aku hanya menurut tidak mau membuat Ummi lelah menjawab pertanyaanku walaupun ia tak pernah menampakkannya. Rindu pada Abi semakin memuncak, setiap hari aku berdiri disini menyaksikan satu persatu boat nelayan yang merapat ke dermaga berharap suatu saat Abi kembali bersama empat rekannya. Dua butiran halus tanpa perlu kukomandoi sudah jatuh di kedua pipiku. Sekejap kuhapus karena di ujung sana aku melihat seorang wanita bergamis merah sedang menuju ke arahku. Ketika sosok tubuh itu tepat berdiri didepanku, aku tidak dapat menyembunyikan kesedihanku. Butiran itu jatuh lagi menerpa wajahku dan kini semakin deras. Sosok itu mengerti mengapa aku menangis, ia memelukku penuh kehangatan, sosok wanita yang berjuang gigih menghidupi anaknya ketika suaminya tidak pernah kembali dari laut itu begitu tegar. “sabar anakku”,ujarnya lembut. Goncangan hebat menderuku. “Gempa!”,teriak seorang warga entah darimana asalnya. Aku dan Ummi berlari menjauhi jembatan, takut akan runtuh dan menjepit kami ditengahnya. Suara jeritan kudengar bersahutan tapi Ummi dengan tenangnya hanya beristighfar memberi kode kepadaku agar mengikutinya. Akhirnya gempa reda namun keanehan lain terjadi, air laut tiba-tiba surut, anak-anak dan nelayan yang melihat segera turun karena melihat ikan-ikan menggelepar tidak sanggup menyeimbangi arus laut yang surut. Nampak juga kulihat masih ada orang yang berwisata di Pantai Ulee Lheu mandi bersenang-senang dan semakin ke tengah. Ummi masih memelukku, “kita harus lari nak”, suara lembutnya menyapaku. Aku tidak mengerti sama sekali namun kuikuti saja perintahnya. Kami berjalan menyusuri jalan kearah Kota Banda Aceh, berjalan kaki. Sekitar 15 menit kami berjalan terdengar teriakan dari belakang sana, aku tidak tahu apa yang mereka teriyaki. Ummi dengan sigap menyuruhku berlari kencang, ia sudah tidak sanggup lagi. Tenaganya habis terkulas. Kali ini aku membangkang perintahnya, aku menggendong tubuhnya dan mulai berlari. Aku hendak menoleh kebelakang dan, ah!tubuhku terdorong namun masih sempat kupegang tangan Ummi. Tidak ada yang dapat kulihat, semuanya gelap….
* * *
Sadar tubuhku terhimpit sebatang pohon kayu, entah darimana datangnya. Kucoba sekali lagi menggerakkan tanganku tetapi tetap tidak berhasil. Teringat kepada Ummi, oh! Dimana Ummi? Ummi!Ummi! suaraku menyeruak membelah lumpur yang terbentang di hadapanku. Pandangku mulai kabur dan akhirnya gelap, tak kurasakan apa-apa lagi.

0 komentar:
Posting Komentar