Suasana berbeda terjadi di kawasan Aceh menjelang Lebaran Idul Adha. Seperti biasanya, 2 hari menjelang Idul Adha, sudah ada tradisi meugang terlebih dahulu. Para penjual daging pun mulai membuka lapak dadakan di beberapa tempat strategis. Sambil berharap daging yang dijajakan cepat laku terjual. Wlopun di saat meugang Idul Adha sendiri para penjual lebih sedikit dibandingkan saat meugang Puasa dan meugang Idul Fitri.
Hari itu Sabtu, 5 November 2011 yang berarti esoknya bakalan lebaran Idul Adha 1432 H. Sudah dua hari terakhir hujan terus membasahi kawasan Banda Aceh dan sekitarnya. Mendung yang masih saja kelam bagai mengabarkan hujan akan terus turun dalam beberapa waktu ke depan. Malam selepas Shalat Isya di saat takbir menggema hampir di seluruh Meunasah (mushalla) dan masjid, aku hendak memacu motor menuju kantor tempatku bekerja. Bukannya kelewatan rajin sih, namun ada tugas yang harus segera diselesaikan. Terkadang pandangan orang-orangpun berbeda. Kenapa harus tetap bekerja padahal malam itu adalah malam lebaran. Apakah hanya sekedar mengejar materi? Atau kepentingan-kepentingan lainnya? Pendapat itu tak dapat juga disalahkan sebenarnya. Namun ada hal-hal yang harus kita lakukan dan membutuhkan sedikit pengorbanan di bagian lainnya. Ini bukan tentang materi Bung, tapi tanggung jawab terhadap apa yang telah dibebankan kepada kita. Akupun tak membicarakan khusus diriku, namun kita semua secara global.
Hujan yang mulai variatif lebat-reda membuatku harus menunggu sebentar. Diantara gerimis hujan akhirnya motorku melaju perlahan-lahan. Jalan yang kulalui kebetulan melewati beberapa titik para penjual daging kurban. Ah, masih lumayan ramai rupanya. Salut juga melihat para penjual yang terus berjuang menjual ‘daging’nya tersebut. Hal itu menjadikanku malu sendiri jika harus mengeluh dengan apa yang seharusnya kukerjakan. Toh yang terjadipun sebenarnya adalah tidak seberat yang mereka alami.
Jam 11 malam lewat, aku kembali dari kantor. Jika pulang sudah agak telat, adalah hobiku ‘mutar-mutar’ dulu sekedar melihat keadaan. Apalagi malam itu kan malam lebaran, jadi tidak ada salahnya jika aku berbelok ke arah pusat kota sebentar. Kebetulan juga pawai takbiran yang diadakan di depan Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh belum sepenuhnya usai. Masih ada beberapa kelompok kecil yang berpawai sambil mengumandangkan takbir. Sebentar kunikmati pemandangan pawai takbir itu dan melanjutkan perjalanan pulang mengingat malam pun kian beranjak larut sementara gerimis belum terlihat surut.
Saat kulewati beberapa titik tempat menjual daging tadi, aku sedikit terkejut melihat masih ada beberapa penjual yang bertahan disana. Di tengah gerimis mereka masih sabar menunggu sambil berharap mungkin masih ada orang yang akan membelinya. Dalam pikirku, bisa saja mereka masih bertahan daripada harus menanggung rugi. Mengingat esokpun adalah lebaran Idul Adha, dimana akan ada penyembelihan hewan kurban yang dagingnya akan dibagikan secara gratis (bandingkan dengan harga jual daging meugang yang tahun ini menembus angka Rp 130.000/kg di Aceh). Otomatis jika demikian, daging yang mereka jualpun akan tiada laku lagi.
Pribadi, aku salut dengan semangat mereka. Wlopun dalam gerimis hujan sampai malam haripun, masih bisa bertahan. Keadaan ini mungkin ‘bukanlah’ hal seberapa jika dibandingkan dengan kondisi di kota-kota besar di Indonesia. Sebut saja di Jakarta misalnya, untuk menyambung hidup ada saja usaha yang mereka lakukan. Dari sebelum subuh para pencari rezeki mulai bergerilya. Apakah itu penjual barang ataukah penjual jasa, pencari jasa ataupun pencari kerja. Teringat dulu Akupun sempat terkejut saat pertama-tama berada di Jakarta. Bak orang polos dan mungkin aneh, aku melihat para pejuang itu bukan dengan tatapan sekilas. Salah satunya seperti saat aku berada di kereta api jurusan Bintaro – Kota (stasiun Djuanda). Diantara para pengemis, pengamen, penjual tas, penyapu gerbong dadakan, penjual makanan/minuman, ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya yang juga ikutan menjual minuman. Dan maaf, jika kutaksir, bilapun dagangannya itu laku semua, keuntungannya bakalan tidak seberapa untuk kebutuhannya mungkin. Ah, jadi keingat salah satu program televisi “Jika Aku Menjadi” jadinya neh. Hehehe....
Dan perjuangan mereka itu sepatutnya kita contoh. Walau dengan keterbatasan dan keadaan yang tak mendukung, toh hidup juga harus tetap berlangsung. Bukan hanya sekedar bercita dan mengeluarkan kata-kata juga.
Ayo semangat..!! terus berjuang..!! kami mendukungmu..!! keep fighting. Kata-kata motivasi seperti itu mungkin biasa kita dengar, baik dari sahabat ataupun teman dekat. Pada aplikasinya, rintangan tetaplah selalu hadir dalam proses kita mencapai sebuah tujuan. Apalagi terkadang juga butuh sebuah pengorbanan. Cuaca tak selamanya cerah kawan, adakalanya gerimis itu datang. Dan kita tidak harus hanya mengemis dengan keadaan yang ada bukan?
0 komentar:
Posting Komentar